ASSISI, KOTA MEDIEVAL DI JANTUNG ITALY

Pada bulan April 2017 yang lalu, saya berhasil merealisasikan keinginan saya yang sudah lama untuk mengunjungi Assisi, kota kecil yang berada di wilayah Umbria, propinsi Perugia, Itali. Kota medieval yang merupakan tempat kelahiran Santo Fransiskus, pendiri ordo Fransiskan ini, memiliki penduduk sekitar 28,299 orang, dengan ketinggian 424 m dan luas wilayah 186.8 km2.

Saya menginap di Assisi selama 3 malam. Dari stasiun Termini, Roma, saya naik kereta api ke jurusan Foligno, kemudian dari Foligno saya berpindah kereta ke jurusan Assisi. Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam lebih. Selama dalam perjalanan ini, saya dimanjakan oleh pemandangan indah berupa lembah dan kota-kota kecil dengan bangunan rumah-rumah dan gereja yang cantik seperti layaknya kota-kota kecil di Eropa.  Kebetulan saat itu adalah permulaan musim semi. Beberapa jenis bunga mulai bermekaran terkena hangatnya matahari. Salah satunya adalah bunga poppy yang banyak tumbuh liar di ladang-ladang dan juga ditepi jalan. Warnanya yang merah terang memberikan kegembiraan musim semi yang masih terasa dingin.



Setibanya di stasiun kereta Assisi, saya memutuskan menyewa taksi untuk menuju ke apartemen tempat saya menginap. Sebetulnya ada juga bis umum yang lebih murah, tapi karena pada saat itu hujan lebat dan saya juga sudah lelah, saya memutuskan untuk naik taksi saja. Apartemen yang saya sewa terletak tepat di pusat kota, yaitu di Piazza Del Comune. Dengan taksi, jarak antara stasiun kereta api dengan Piazza hanyalah sekitar 15 menit. Begitu meninggalkan stasiun, kota Assisi nampak terlihat di atas bukit. Saya menahan napas, terkesima dengan keindahan pemandangan yang ada didepan mata. Dari kejauhan, kota tersebut nampak seperti negeri dongeng. Warna kota dari jauh terlihat putih kekuningan karena bangunan-bangunan di kota tersebut terbuat dari batu gamping. Jalanan yang kami lalui terbuat dari batu kali, kecil dan berkelok-kelok. Perlahan kami merayap ke atas, menuju ke pusat kota.

Hari sudah menjelang sore ketika saya mencapai tempat tujuan. Hujan masih cukup deras dan suhu turun menjadi sekitar 6°C. Cukup dingin bagi saya yang selama ini tinggal di negara tropis. Karena taksi tidak dapat berhenti tepat di depan apartemen, supir taksi menurunkan saya di pangkalan taksi Piazza Del Comune. Dari sana saya berjalan kaki sekitar 100 m. Seluruh jalanan terbuat dari batu. Penginapan saya terletak sedikit agak di atas, jadi saya harus menaiki tangga batu. Sesampainya disana, Laura, tuan rumah, sudah menunggu saya. Setelah check-in dan berbincang sebentar, saya keluar untuk mencari makan. Karena saya tiba sekitar pukul 4 sore, tidak ada restauran yang buka, mereka tutup setelah jam makan siang dan baru buka kembali pada saat jam makan malam. Laura merekomendasikan saya untuk pergi ke salah satu bar yang terletak tidak jauh dari apartemen. Saya bisa memesan makanan sederhana disana. Karena perut sudah keroncongan, jadilah saya pergi menuju ke salah satu bar di ujung jalan. Disana saya duduk dan memesan spageti dan secangkir teh untuk menghangatkan perut. Spageti tersebut lumayan enak dan cukup membuat saya kenyang.

Setelah makan, saya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di Piazza Del Comune. Piazza itu tidak terlalu besar dan dikelilingi oleh pertokoan dan café. Ada pancuran singa yang terletak di alun-alun utama dan Tempio Di Minerva atau Temple of Minerva. Tempio Di Minerva adalah bangunan Romawi kuno yang di bangun pada abad pertama sebelum Masehi atas perintah Gnaeus Caesius dan Titus Caesius Priscus. Pertalian dengan Dewi Minerva berasalkan dari penemuan patung perempuan, walaupun kemudian setelahnya ditemukan batu persembahan untuk Hercules dan kemungkinan kuil Minerva ini dipersembahkan kepada Hercules, laki-laki setengah dewa tersebut. Kuil ini sekarang telah dijadikan gereja Santa Maria Sopra Minerva yang di bangun pada tahun 1539 dan di renovasi menjadi bangunan bergaya barok.



Usai mengunjungi Tempio Di Minerva, saya memutuskan kembali ke apartemen karena cuaca yang semakin dingin. Tetapi, ketika saya baru berjalan sekitar 50 meter, langkah saya terhenti di depan toko yang menjual produksi makanan khas Umbria.



Saat memasuki toko, langkah saya disambut oleh sapaan ramah wanita yang menunggu toko tersebut. Ia memperkenalkan dirinya dan menanyakan dari negara mana saya berasal. Diapun meminta ijin untuk memperkenalkan produksi lokal Umbria, yang ada di toko tersebut. Pertama-tama dia mengeluarkan beberapa botol pesto. Pesto adalah semacam saus yang biasanya terbuat dari bahan-bahan sayuran yang diolah dengan minyak zaitun. Biasa dipakai sebagai saus pasta atau dioleskan pada roti. Beberapa jenis pesto yang ada dan kemudian saya cicipi adalah pesto yang terbuat dari arthichoke, zaitun hitam dan jamur truffle. Pesto tersebut dioleskan pada sepotong kecil roti yang dapat saya makan dengan sekali suap. Semuanya lezat.

Setelah itu, dia juga mengeluarkan beberapa jenis balsamic vinegar atau cuka balsamic. Cuka balsamic adalah hasil fermentasi dari jus anggur yang dimasak hingga kadar airnya menyusut, kemudian disimpan selama bertahun-tahun didalam wadah (berbentuk tong) yang terbuat dari kayu untuk menghasilkan cuka balsamic dengan kualitas tinggi. Cuka balsamic ini bisa diteteskan untuk menambah cita rasa pada daging, salad atau buah-buahan. Harganya sangat mahal karena proses pembuatannya yang rumit dan sangat lama. Karena nilainya yang tinggi, cuka balsamic juga sering disebut sebagai cairan emas. Ada beberapa jenis cuka balsamic yang saya cicipi. Dari yang berumur 8, 12, 15 sampai 25 tahun. Semakin tua cuka tersebut, semakin mahal harganya. Saya mencicipinya dengan memakai sendok plastik kecil.

Setelah itu saya juga diperkenalkan pada truffle. Saya sudah banyak mendengar tentang jenis jamur yang termasyur ini, tapi saya belum pernah melihatnya secara langsung, seperti apakah jamur truffle yang terkenal sangat mahal di dunia ini. Ternyata jamur truffle banyak ditemukan di daerah Umbria. Ada 2 jenis truffle, yaitu truffle hitam dan truffle putih. Kedua-duanya tumbuh di akar pohon didalam tanah. Para pemburu truffle menggunakan bantuan anjing dan babi yang telah dilatih secara khusus untuk mengendus dan menggali jamur tersebut. Truffle, terutama yang putih sangat sulit untuk di kultivasikan. Oleh karena itu harga truffle menjadi sangat mahal.

Truffle tidak hanya digunakan dalam bebagai hidangan seperti pada appetizer dan hidangan utama, tapi juga digunakan sebagai variasi rasa pada keju dan daging yang diawetkan, seperti bermacam-macam jenis salami, untuk memberikan cita rasa truffle yang khas. Selain beberapa keju sapi ataupun kambing yang banyak di produksi di Umbria seperti keju ricotta segar, caciotta, raviggiolo dan pecorino yang ber cita rasa alami, ada juga berbagai macam variasi keju dengan rasa truffle.

Tak terasa saya telah berada di toko tersebut lebih dari satu jam. Saya yang pada awalnya masuk karena rasa ingin tahu, jadi belajar banyak mengenai produksi makanan lokal daerah tersebut. Umbria sendiri memang sangat terkenal dengan seni kulinernya. Mungkin kalau ada waktu dan kesempatan, saya akan kembali lagi ke sana, untuk lebih mendalami wisata kuliner.

Akhirnya kunjungan ini saya akhiri dengan membeli 2 jenis pesto. Satu dengan campuran sayur arthicoke dan satunya lagi dengan campuran zaitun hitam, 2 botol minyak zaitun dengan rasa truffle hitam dan putih, beberapa potong keju dan roti untuk makan malam saya nanti dan tak lupa satu botol truffle utuh sebagai souvenir. Sebelum mengucapkan selamat tinggal, penjaga toko tersebut juga mengatakan bahwa mereka bisa menyiapkan sandwich segar untuk piknik atau sebagai bekal perjalanan. Saya mengucapkan terimakasih, kemudian keluar dengan menenteng belanjaan saya.

Hari kedua di Assisi, saya bangun pagi-pagi, kemudian menuju ke salah satu café yang terletak di Piazza Del Comune untuk sarapan. Saya memesan kopi dan croissant. Saya tidak menghabiskan waktu terlalu lama disana karena masih ada banyak yang ingin saya lihat. Tujuan pertama saya adalah Basilica of Saint Francis of Assisi atau Basilika Santo Fransiskus dari Assisi. Assisi adalah tempat kelahiran dan meninggalnya Santo Fransiskus. Dia adalah tokoh pendeta dan biarawan yang mendirikan Ordo Fransiskan atau Friars Minor. Menurut legenda, Santo Fransiskus tidak hanya berkotbah untuh manusia, tetapi juga pada burung-burung dan binatang lain. Kini ia dikenal sebagai Santo pelindung bagi binatang dan lingkungan hidup.

Basilika Santo Fransiskus dari Assisi ini merupakan gereja induk dari Ordo Fransiskan. Pembangunan basilika ini dimulai pada tahun 1228 dan terdiri dari 2 bangunan gereja, yaitu bangunan gereja bagian atas, bangunan gereja bagian bawah dan makam bawah tanah, dimana sisa-sisa jasad Santo Fransiskus dikebumikan. Interior didalam gereja bagian atas adalah salah satu contoh awal bangunan bergaya gotik di Itali. Dinding gereja bagian atas dan bawah tersebut dihiasi dengan lukisan fresco dari pelukis-pelukis terkenal seperti Cimabue, Giotto, Simone Martini, Pietro Lorenzetti dan kemungkinan juga Pietro Cavallini.

Jasad Santo Fransiskus sendiri dikebumikan di makam bawah tanah di basilika tersebut. Pada tahun 1818, tempat pemakamam tersebut diketemukan. Untuk menghindari penyebaran relik di abad pertengahan Eropa, sisa-sisa relik tersebut di sembunyikan dan kemudian atas perintah Paus Pius IX, dibangunlah makam bawah tanah dibawah gereja. Relik Santo Fransiskus kemudian disimpan didalam peti batu yang diamankan dengan besi pengikat, untuk kemudian diabadikan di atas altar. Banyak peziarah datang dan berdoa di depan altar, atau duduk disamping pagar besi, dimana relik tersebut disemayamkan. Mereka berdoa sambil menyentuh pagar besi tersebut.



Seandainya saya punya banyak waktu di Assisi, ingin rasanya menghabiskan waktu seharian di basilika tersebut untuk menikmati karya seni yang luar biasa. Ada banyak hal yang menarik perhatian saya. Arsitektur yang mengesankan, detil interior yang indah dan rumit, lukisan fresco, makam bawah tanah yang sederhana tapi indah dan syahdu dan kekusyukan para peziarah yang datang untuk berdoa. Tapi karena saya harus mengejar waktu untuk melihat yang lainnya, sayapun berjalan keluar untuk menyempatkan diri melihat pemandangan dari luar gereja. Apa yang saya lihat adalah pemandangan kota Assisi dengan lembahnya yang indah. Tempat ini memang luar biasa!



Setelah beberapa kali mengitari bagian luar dan memuaskan mata melihat pemandangan sekitar, dengan berat hati saya menyeret langkah menjauhi basilika Santo Fransiskus. Berkali-kali saya menoleh ke belakang untuk melihatnya lagi dan lagi. Masih enggan rasanya untuk menjauhi.

Dari basilika, saya berjalan naik menuju ke arah timur. Kali ini tujuan saya adalah Rocca Maggiore, yaitu  sebuah kastil yang terletak di dataran tertinggi di Assisi. Jarak antara basilika dengan Rocca Maggiore hanya sekitar 20 menit. Perjalanan tersebut sangat menyenangkan karena sepanjang jalan saya banyak sekali menemukan sudut-sudut yang indah. Dari sela-sela tembok dan jalanan, pemandangan luar biasa sering menyembul secara tak di sangka-sangka. Tembok-tembok kota menjadi bingkai tersendiri bagi pemandangan tersebut. Berkali-kali saya berhenti untuk mengambil napas karena jalanan yang menanjak dan mengagumi pemandangan yang saya lewati.  

Sesampainya di gerbang kastil, saya menyempatkan diri membeli es krim dan duduk di café kecil yang ada didepan pintu masuk Rocca Maggiore untuk menikmati pemandangan yang lebih luas.  Café tersebut terletak di luar, diantara pohon zaitun. Setelah puas melihat pemandangan dan melepas lelah, saya berjalan ke loket penjualan tiket, kemudian berjalan masuk.




Kastil yang dibangun pada abad ke 14 ini bukan hanya terletak di tempat yang strategis secara militer, tetapi juga disalah satu lokasi yang paling indah di Umbria. Kita bisa melihat kota Assisi dan lahan pertaniannya dari sebelah barat dan di sebelah timur kita bisa melihat pegunungan Umbria. Dahulu kala, Rocca Maggiore ini adalah bagian dari sistem tembok pertahanan kota Assisi. Beberapa bagian dari tembok tersebut masih utuh. Seperti halnya kastil-kastil di Eropa, kastil ini dibangun dengan beberapa lapisan tembok pengaman sebagai sistem pertahanan. Di bagian tengah yang paling aman terdapat menara yang digunakan sebagai tempat tinggal para penghuninya. Sebagai perlindungan, hanya ada beberapa jendela yang diletakkan di tempat yang sangat tinggi. Didalam tembok kastil juga terdapat kebun yang luas untuk menikmati sinar matahari dan kebun itu juga berfungsi sebagai lahan bercocok tanam untuk memproduksi bahan pangan apabila kastil tersebut mendapat serangan dan dikepung oleh musuh dalam jangka waktu yang lama.

Puas menikmati bagian dalam kastil kuno ini, saya berjalan keluar untuk melihat keseluruhan kastil dari luar. Walaupun tidak besar sekali, kastil ini terlihat kokoh dan mengesankan.



Setelahnya saya memuaskan mata sekali lagi dengan melihat pemandangan secara keseluruhan dan selanjutnya perlahan-lahan berjalan turun, kembali ke Piazza Del Comune. Sore ini saya akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan mengitari kota.


Kota Assisi terlihat sangat elok dan utuh karena semua dinding bangunannya secara konsisten menggunakan material yang terbuat dari batu gamping (limestone). Batu yang dibiarkan kasar dan tak terpoles itu memberikan karakteristik tersendiri bagi kota tersebut. Dari kejauhan, Assisi nampak mengapung dengan indahnya bagaikan kota dalam lukisan pelukis terkenal Itali, Giotto. Berada di dalam pusat kotanya, akan memberikan kita pengalaman tersendiri. Tekstur batu yang kasar, berwarna putih, kekuningan, dibiarkan telanjang tanpa polesan semen. Hasilnya adalah kota medieval yang indah. Seluruh kota terasa utuh karena tidak ada bangunan modern di sana. Meskipun banyak peziarah dan turis, kota Assisi tidak terlalu ramai. Mungkin juga karena pada saat itu masih pertengahan April. jadi belum musim liburan. Ada banyak toko souvenir yang menjual barang-barang khas produksi Umbria, seperti keramik tradisional, barang-barang yang terbuat dari kulit seperti tas, sepatu dan gelang kulit dengan ukiran doa, toko-toko yang menjual produksi makanan khas Umbria, bakery, dan lain sebagainya. Karena saya tidak terlalu gemar berbelanja, maka saya hanya melewati toko-toko tersebut. Tapi toko-toko itu terlihat berjejer cantik. Hari sudah agak malam dan semakin dingin. Saya memutuskan kembali ke apartemen untuk beristirahat.

Keesokan harinya adalah hari ketiga saya di Assisi. Saya masih memiliki waktu satu hari penuh. Saya agak sedikit bermalas-malasan karena merasa agak lelah. Tujuan pertama saya  hari ini adalah gereja Santa Maria Maggiore, gereja dimana Santo Fransiskus dibaptis. Pembangunan gereja ini dimulai sekitar abad ke 11, dengan arsitektur bergaya Roman. Sayang sekali gereja ini nampak tidak terawat dan ada beberapa kerusakan yang tidak diperbaiki. Saya juga melihat beberapa vandalisme di beberapa lukisan fresco pada dindingnya. Keadaan gereja terasa lembab dan kotor. Di ruang bawah, beberapa pilar runtuh dan nampak tidak diperbaiki atau dibersihkan.



Dari gereja Santa Maria Maggiore, saya berjalan kembali ke Piazza del Comune dan kali ini tujuan saya adalah mengunjungi museu e Foro Romano. Museum ini hampir tidak kelihatan dari luar karena lokasinya yang agak tersembunyi, diantara rumah-rumah dan pertokoan. Dari pintu masuk museum, perlahan kita berjalan ke bawah tanah menuju ke arah Temple of Minerva. Di museum tersebut kita bisa melihat sisa-sisa reruntuhan jaman Romawi yang masih terpelihara dengan baik. Menarik juga untuk mengetahui bahwa alun-alun di depan temple of Minerva itu dahulunya adalah Forum Romawi sebelum diatasnya dibangun menjadi piazza pada abad pertengahan.

Selesai dengan Foro Romano, saya memutuskan untuk sekali lagi melihat basilika Santo Fransiskus dari Assisi. Saya berjalan perlahan sambil menikmati pemandangan dan melihat sekitar dengan lebih hati-hati. Saya perhatikan beberapa burung dara senang membuat sarang diantara lubang-lubang tembok batu. Kehidupan di kota ini tampak tenang dan tidak terburu-buru. Assisi juga kelihatan sangat bersih dan penduduknya ramah.



Saya hanya melihat basilika dari luarnya saja, karena saya masih ingin mengitari kotanya sekali lagi. Saya ingin mengingat setiap sudut kota ini. Besok pagi saya sudah harus berangkat meninggalkan Assisi, menuju ke Venice. Telah banyak yang saya lihat dan pelajari dari perjalanan saya ke Assisi. Saya tidak akan pernah melupakan keindahan kota ini.


Singapura, 11 Juni 2017

Share via :
Only member can wowing to this article. Register now here